MEMBANGUN NILAI BUDAYA KETERBUKAAN DALAM PELAYANAN PUBLIK ( Tinjauan Kasus Penyelenggaraan Pelayanan Publik di Daerah )

Kabupaten Banyumas

PERUBAHAN POLA PIKIR UNTUK

MEMBANGUN NILAI BUDAYA KETERBUKAAN

 DALAM PELAYANAN PUBLIK

( Tinjauan Kasus Penyelenggaraan Pelayanan Publik

di Daerah )

 

 

 

Oleh  :

Drs. JOELIONO

WIDYAISWARA UTAMA

KANTOR DIKLAT KABUPATEN BANYUMAS

 

KANTOR PENDIDIKAN DAN PELATIHAN

KABUPATEN BANYUMAS

2013


Perubahan Pola Pikir Untuk  Membangun Nilai Budaya Keterbukaan Dalam Pelayanan Publik

 

Drs. Joeliono

 

Abstrak

           Untuk membangun nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan

 Publik  sebagai  salah satu nilai  budaya kerja organisasi pemerintah,

maka  diperlukan perubahan  pola pikir  dilingkungan aparatur negara

Sebagai upaya terjadinya perubahan pola pikir di lingkungan aparatur negara perlu ditempuh dengan menerapkan berbagai konsep dan metode untuk terwujudnya pelayanan publik yang berkualitas, transparan dan akuntabel

 

Kata Kunci  : Pola Pikir, Nilai Budaya Keterbukaan, Good Governance,Pelayanan Publik, Citizen’s Charter.


Latar Belakang

Dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi dijelaskan bahwa salah satu tujuan umum Reformasi Birokrasi adalah membangun/membentuk profil dan perilaku aparatur negara dengan kemampuan memberikan pelayanan yang prima. Maka nampak bahwa pelayanan publik mempunyai peranan yang sangat strategis sebagai salah satu fungsi pemerintah disamping regulasi dan pemberdayaan. Pelayanan Publik  merupakan  suatu sistem, dalam arti masyarakat sebagai pemohon atau pengguna layanan harus diberikan akses yang seluas-luasnya berkaitan dengan proses pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Prinsip keterbukaan mempunyai peranan penting untuk terbangunnya pelayanan publik yang brkualitas.

       
Bertitik tolak dari Pedoman Umum Reformasi Birokrasi sebagaimana tertuang Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/15/M.PAN/7/2008 juga dijelaskan bahwa tujuan khusus yang ingin dicapai adalah Birokrasi yang transparan (terbuka) dan dapat memberikan pelayanan prima kepada masyarakat, dengan harapan sasaran umum dari Reformasi Birokrasi yakni terjadinya perubahan pola pikir (mindset) dan budaya kerja (culture set) serta sistem manajemen pemerintahan.


Prinsip keterbukaan harus menjadi salah satu landasan utama dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan, dan kita sadari bersama bahwa  tugas pelayanan publik itu sendiri merupakan salah satu tugas pokok dari Pemerintah. .


Dalam Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002  tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara telah mengisyaratkan bahwa nilai budaya keterbukaan harus dapat mewarnai perilaku aparatur negara dalam rangka peningkatan kinerja serta kualitas pelayanan publik secara berkelanjutan yang berorientasi pada terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) sebagai visi dari reformasi birokrasi.


Maka upaya untuk mewujudkan keterbukaan dalam penyelenggaraan pelayanan publik merupakan suatu keharusan dalam rangka terselenggaranya pelayanan publik yang  terbuka, akuntabel, efektif dan non-diskriminatif.


Penerapan nilai budaya keterbukaan juga akan mendorong peningkatan peran serta masyarakat dalam memonitor dan mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik. 

           
Penulisan artikel ini dimaksudkan untuk mengkaji perlunya perubahan pola pikir dilingkungan aparatur negara dengan menrapkan beberapa konsep dan metode untuk terwujudnya nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik.


Perubahan Pola Pikir Di Lingkungan Aparatur Negara


Harsanto Nursadi dalam Modul ” Penerapan Budaya Kerja Aparatur Negara (2006) ” menjelaskan bahwa dalam rangka menyusun strategi pelaksanaan budaya kerja harus diawali dengan strategi perubahan mindsetting (pola pikir), sikap dan perilaku, yang meliputi esensi penataan pola pikir dan strategi pencapaian penataan pola pikir.

          
Tasdik Kinanto dalam salah satu tulisannya lebih menegaskan lagi bahwa hakekat reformasi birokrasi adalah perubahan pola pikir dan budaya kerja aparatur negara. Selanjutnya dikatakan pula bahwa untuk itu, setiap instansi pemerintah perlu mengembangkan budaya kerja di lingkungannya masing-masing. ”Perubahan pola pikir dan peningkatan budaya kerja pada dasarnya merupakan inti dari reformasi birokrasi. Aparatur negara harus melayani, bukan dilayani

           
Dari uraian diatas nampak bahwa untuk terwujudnya perubahan budaya kerja harus diawali perubahan pola pikir di lingkungan aparatur negara dan pada saat yang sama akan terlihat pada perubahan perilaku aparatur negara dalam melaksanakan tugas pelayanan publik sehari-hari.


Pola pikir dibentuk dan dibangun dalam proses waktu yang cukup lama sejak manusia lahir dan dipengaruhi oleh banyak faktor terutama pengaruh lingkungan kerja akan memberikan kontribusi yang sangat signifikan untuk terbentuknya pola pikir aparatur negara.


Konsep Keterbukaan Dalam Pelayanan

Dalam Penjelasan Undang Undang Nomer 25 Tahun 2009 tentang   Pelayanan Publik, khususnya Pasal 4 huruf h memberikan batasan tentang prinsip keterbukaan dalam pelayanan publik, antara lain dijelaskan bahwa setiap penerima pelayanan dapat dengan mudah mengakses dan memperoleh informasi mengenai pelayanan yang diinginkan.

Menurut  BAPPENAS prinsip keterbukaan sedikitnya memiliki 2 (dua) Indikator Minimal, meliputi  :

     1.    Tersedianya informasi yang memadai pada setiap proses penyusunan

            dan implementasi kebijakan publik

     2.    Adanya   akses   pada   informasi yang  siap, mudah dijangkau, bebas

            diperoleh  dan  tepat  waktu   dalam   rangka  evaluasi dan  monitoring

            penyelenggaraan pemerintahan.         

                
Selanjutnya dalam Undang Undang dimaksud, khususnya Pasal 1 Angka (1)  dikatakan bahwa:pelayanan publik adalah kegiatan atau rangkaian kegiatan dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi setiap warga negara dan penduduk atas barang, jasa, dan/atau pelayanan administratif yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik.

          
Konsep keterbukaan dalam pelayanan menunjuk pada suatu keadaan dimana segala aspek dari proses penyelenggaraan pelayanan bersifat terbuka dan dapat di akses dengan mudah oleh para pengguna pelayanan dan stakeholders yang membutuhkan.

         
Jika segala aspek penyelenggaraan pelayanan, khususnya yang berkaitan dengan hak dan kewajiban antara pemberi/penyelenggara layanan dengan pengguna layanan dapat diakses dengan mudah dan dipublikasikan secara terbuka sehingga mudah dipahami oleh publik, maka praktek penyelenggaraan tersebut memiliki tingkat keterbukaan yang tinggi, seperti : persyaratan, waktu, biaya, alur pelayanan, mekanisme pengaduan dan sebagainya.


Sebaliknya manakala semua atau sebagian dari aspek pelayanan tidak terbuka dan sulit untuk di akses oleh para pengguna layanan maupun para stakeholders, maka penyelenggaraan pelayanan tersebut memiliki tingkat keterbukaan yang rendah, atau  dengan  kata  lain  tidak memenuhi  kaidah keterbukaan .

              
Kalau kita melihat beberapa latar belakang dilaksanakannya Reformasi Birokrasi, antara lain : masih rendahnya kualitas penyelenggaraan pelayanan publik sehingga belum memenuhi harapan masyarakat serta tingkat keterbukaan dan akuntabilitas yang masih rendah (Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : Per/15/M.PAN/7/2008 tentang Pedoman Umum Reformasi Birokrasi), maka keterbukaan merupakan konsep yang strategis sejalan dengan Visi Reformasi Birokrasi, yakni terwujudnya Tata Kelola Pemerintahan Yang Baik pada tahun 2025.


Publik menghendaki agar pemerintah terbuka dan menjamin akses kepada publik dan stakeholders terhadap berbagai informasi mengenai proses kebijakan publik, termasuk latar belakangnya, sehingga publik setidaknya akan memiliki 2   (dua) kesempatan atau ruang untuk :

     1.   Menilai  sampai  sejauh mana  kebijakan yang diambil oleh Pemerintah

           benar – benar  berpihak   kepada   kepentingan publik dan para  stakeholders

     2.   Mengkritisi   dan   mengambil   sikap   yang  tepat  manakala kebijakan

           publik  tersebut  tidak berorientasi  dan  memihak  kepada kepentingan

           publik.

              
Sebagaimana telah penulis jelaskan pada Bab terdahulu, bahwa nilai budaya keterbukaan memiliki peranan penting dalam penyelenggaraan pemerintahan, juga dalam pelayanan publik, sehingga warga harus diberikan akses seluas-luasnya tentang proses penyelenggaraan pelayanan publik.

             
Dalam praktik masih sering dijumpai keterbatasan bahkan ketidakpahaman publik terhadap  mekanisme dan proses pelayanan publik, sehingga pada gilirannya mengakibatkan munculnya permasalahan dalam pelayanan publik. Perlu disadari bersama bahwa kondisi tersebut sebagian besar sebagai akibat keterbatasan publik untuk memperoleh akses seluas-luasnya informasi kebijaksanaan pelayanan publik, sehingga berakibat rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat akan hak dan kewajibannya sebagai pengguna layanan, disamping juga  dalam rangka  untuk ikut mengevaluasi penyelenggaraan pelayanan publik.

Agus Dwiyanto dalam tulisannya ” Transparansi Pelayanan Publik ”(2005), antara lain mengatakan  bahwa nilai budaya keterbukaan dapat memberikan dampak yang komplek dalam penyelenggaraan pemerintahan maupun pelayanan publik, antara lain  :

     1.  Karena keterbukaan merupakan salah satu prinsip utama, sehingga akan mempunyai peranan yang signifikan untuk terwujudnya Good Governance sebagai Visi yang ingin dicapai dalam Program Reformasi Birokrasi 

     2. Keterbukaan juga dapat membawa dampak terhadap peningkatan partisipasi dalam  pelayanan publik, karena masyarakat akan berpartisipasi aktif manakala diberikan akses dan informasi yang seluas-luasnya dan mudah mengenal pelaksanaan kegiatan pelayanan publik, serta hak dan kewajibannya sebagai pengguna layanan.

    3.  Keterbukaan juga memiliki keterkaitan yang erat dengan akuntabilitas publik, karena publik akan bersedia dan mampu untuk mengevaluasi kebijakan pelayanan publik, seandainya publik diberi kesempatan yang seluas-luasnya dan mudah untuk mengakses dan memperoleh informasi terhadap kebijakan dan tindakan yang dilakukan oleh Birokrasi sebagai penyelenggara/penyedia layanan

    4.  Keterbukaan  juga   akan  menberikan  kontribusi    yang  sangat  besar dalam upaya penegakkan hukum dan pemberantasan KKN.  Karena publik dapat menjadi apatis dalam menyikapi upaya penegakkan hukum dan pemberantasan KKN sebagai akibat aparat penegak hukum yang seringkali tidak transparan dalam proses penegakkan hukum dan  praktek “ tebang pilih “.

 

Permasalahan   Perubahan    Pola    Pikir   Dan  Nilai Budaya Keterbukaan Dalam Pelayanan Publik

  

Selanjutnya Agus Dwiyanto (2005) mengisyaratkan, bahwa untuk mengukur   tingkat   keterbukaan  dalam penyelenggaraan layanan  publik  setidaknya  ada 3  ( tiga ) Indikator yang dapat digunakan, yakni  :

1. Mengukur tingkat keterbukaan proses penyelenggaraan layanan  publik.Penyelenggara  layanan    harus    mendisiminasikan informasi dan memberikan  akses  yang  mudah  bagi  para  pengguna layanan untuk mengetahui    informasi  berbagai   aspek  layanan  publik,  antara   lain persyaratan,   waktu,  biaya   dan   terutama    hak     dan       kewajiban penyelenggara   maupun   pengguna   layanan.   Untuk itu   penyelenggara  layanan  harus memiliki  komitmen yang  kuat untuk  mensosialisasikan semua aspek layanan publik

2. Seberapa mudah peraturan dan prosedur layanan dapat dipahami oleh pengguna layanan dan stakeholders, maksudnya mekanisme dan prosedur layanan jangan hanya dipahami secara harfiah, tetapi juga makna yang berada dibalik mekanisme dan prosedur tersebut

3. Kemudahan  untuk  memperoleh  informasi  mengenai  berbagai aspek penyelenggaraan pelayanan publik.

 

Menurut BAPPENAS beberapa Perangkat Indikator yang harus   disediakan meliputi  : Peraturan yang menjamin hak untuk mendapatkan informasi, Pusat/Balai Informasi, Website, Iklan layanan masyarakat,.Media Cetak maupun Papan Pegumuman’

 
Beberapa permasalahan pola pikir aparatur negara masih sering dijumpai di lapangan dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik, sehingga dapat dijadikan sebagai indikasi bahwa nilai budaya keterbukaan  belum berjalan dengan baik, antara lain :

 

1. Tingkat    disiplin    yang    masih    rendah,    sehingga    dampak yang kelihatan  antara  lain  kelambatan  dalam  pelayanan,  masih    sering terjadinya pungutan – pungutan  liar (pungli).  

2. Semangat  dan  etos  kerja  yang  rendah  atau  ”kurang greget”   untuk dapat memberikan pelayanan  terbaik kepada publik, sehingga  kinerja dalam pelayanan publik belum memenuhi harapan masyarakat.

3. Nilai budaya keterbukaan yang belum terwujud sepenuhnya. Beberapa oknum aparatur negara memberikan kesan lebih menempatkan diri sebagai penguasa (birokrat) dari pada sebagai pelayan masyarakat, arogan dan   ”alergi” terhadap kritik, saran, pengaduan atau keluhan dari publik sebagai pelanggan, sikap yang kurang ramah terhadap pelanggan. Misalnya  : terdapat seorang wajib Kartu Tanda Penduduk yang datang ke unit pelayanan KTP yang sama sekali tidak membawa persyaratan administrasi secara lengkap karena ketidakpahaman akan hak dan kewajibannya sebagai wajib KTP, juga pada kasus yang lain seorang yang akan mengurus paspor di Kantor Imigrasi hanya membawa dan menunjukkan KTP kepada petugas pelayanan karena kekurangpahaman persyaratan administrasi pengurusan paspor, demikian pula masyarakat banyak yang tidak memahami berapa biaya pengurusannya, kemana dan bagaimana mekanisme pengaduan manakala masyarakat memperoleh pelayanan yang kurang memuaskan atau terjadi kesalahan dalam prosedur pelayanan. Akibat yang lain yakni masih maraknya praktek per-calo-an dalam pelayanan publik. Kasus semacam ini juga terjadi pada unit2 pelayanan yang lain, seperti pengurusan perijinan, administrasi pertanahan, SIM dsbnya.

 

Keterbukaan dalam pelayanan publik masih menghadapi banyak    kendala yang cukup komplek, baik yang berkaitan dengan sumberdaya aparatur, mekanisme dan prosedur pelayanan sebagaimana diungkap oleh Agus Dwiyanto (2005), dalam tulisannya yang berjudul Transparansi Dalam Pelayanan Publik, antara lain  :
 

  1.  Kurangnya komitmen dari penyelenggara / penyedia layanan publik untuk terwujudnya keterbukaan dalam pelayanan publik.

  2.  Struktur Birokrasi yang hierarkhis dan cenderung menciptakan arus   informasi yang vertikal  sehingga menjadi kendala dalam mewujudkan transparansi pelayanan publik.

  3.  Keterbatasan akses dan layanan informasi  kepada pengguna layanan  tentang aspek-aspek penyelenggaraan pelayanan publik

  4. Tingkat   pendidikan  dan  pengetahuan   sebagian    masyarakat  yang masih rendah.

          
Dari uraian diatas penulis melihat bahwa komitmen dari pimpinan mempunyai peranan yang sangat dominan dalam membangun nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik, dalam arti pimpinan harus menjadi motor penggerak utama (prime-mover) dan harus dapat memberikan teladan/panutan kepada pegawai di lingkungannya.

          
Kebijakan atau langkah untuk mengembangkan dan mewujudkan keterbukaan di bidang pelayanan publik sudah banyak dilakukan dengan berbagai macam cara atau metode, antara lain salah satu cara menurut Erwan Agus Purwanto (2005) dalam makalahnya yang berjudul Pelayanan Publik Partisipatif dalam Agus Dwiyanto (2005) adalah dengan mengembangkan Citizen’s Charter atau Cient ’s Charter (Kontrak Pelayanan), yaitu adanya standar pelayanan publik yang ditetapkan berdasarkan masukan pelanggan, dan penyelenggara/pemberi layanan berjanji untuk memenuhinya.


Citizen ’s Charter  adalah suatu pendekatan dalam memberikan pelayanan publik yang menempatkan pengguna layanan atau pelanggan sebagai pusat perhatian. 
Ini berarti, kebutuhan dan kepentingan pengguna layanan harus menjadi perhatian utama dalam proses pelayanan

           
Selanjutnya Erwan Agus Purwanto mengatakan bahwa Citizen ’s Charter ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk partisipasi masyarakat dalam penyelenggarakan pelayanan publik dimana para pemberi dan pengguna layanan, serta pihak yang berkepentingan ( stakeholders ) sama-sama membuat dan meyepakati suatu kontrak pelayanan menyangkut prosedur, waktu, biaya, dan cara pelayanan


Kesepakatan ini harus mempertimbangkan keseimbangan kepentingan antara penyedia dan pengguna layanan serta stakeholders.

 

Dari uraian diatas kebijakan menyusun Citizen ’s Charter dapat diperoleh beberapa manfaat, antara lain  :

  1. Adanya  kejelasan hak dan kewajiban  antara pemberi dan  pengguna layanan dalam penyelenggaraan pelayanan publik.
  2. Sebagai   alat   monitoring   dan    evaluasi    bagi   pengguna  layanan dalam menilai kebijakan dan langkah para pemberi layanan
  3. Untuk   mendorong   partisipasi    masyarakat   sebagai   mitra    dalam membangun  nilai  budaya  keterbukaan  penyelenggaraan  pelayanan publik.

          
Berbagai instrumen dan upaya inovatif dalam rangka  menindaklanjuti konsep Citizen ’s  Charter, antara lain dalam Undang Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik dan Peraturan Menpan Nomor PER/20/M.PAN/04/2006  Tahun 2006 tentang Pedoman Penyusunan Standar Pelayanan Publik telah diatur tentang Standar Pelayanan Publik maupun Maklumat Pelayanan sebagai suatu bentuk pernyataan kesanggupan penyelenggara dalam melaksanakan pelayanan sesuai standar pelayanan dan harus dipublikasikan secara jelas dan luas sebagai suatu penginformasian kepada khalayak, sehingga mudah diketahui, dilihat, dibaca dan diakses oleh publik.


Selain dari pada itu dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 13 tahun 2009 tentang Pedoman Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik Dengan Partisipasi Masyarakat juga telah dikembangkan suatu mekanisme dalam rangka upaya untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dengan partisipasi masyarakat.


 

Namun demikian agar Citizen ’s Charter dapat berjalan secara efektif dan berkesinambunganmaka dalam mengembangkan nilai budaya keterbukaan pelayanan publik perlu diperhatikan langkah-langkah sebagai berikut :

 

  1. Draft Citizen ’s  Charter  harus   dibuat   bersama-sama   antara   pihak pemberi dan pengguna layanan serta para stakeholders. 
  2. Manakala  Citizen ’s  Charter  sudah   selesai disusun  dan   disepakati  bersama antara pemberi dan pengguna layanan serta para  stakeholders, harus dilakukan langkah untuk mensosialisasikan kepada masyarakat luas, dalam rangka meningkatkan pemahaman dan partisipasi masyarakat untuk mewujudkan transparansi dalam layanan publik
  3. Monitoring    dan    Evaluasi    secara     berkesinambungan    terhadap pelaksanaan Citizen ’s  Charter, dan senantiasa harus di Up-date sesuai dengan dinamika perkembangan tuntutan dan kebutuhan para pengguna layanan.
  4. Membangun    komitmen     dari    semua     pihak     terkait, khususnya pimpinan unit kerja pelayanan  untuk melaksanakan Citizen ’s  Charter secara konsisten sebagai salah satu metode untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik.


 

Kesimpulan

 

Nilai budaya keterbukaan sebagai salah satu prinsip utama dalam pelaksanaan kepemerintahan yang baik harus dapat diwujudkan dalam penyelenggaraan pelayanan publik sebagai salah satu agenda dalam Program Reformasi Birokrasi, dalam arti para pengguna layanan dapat memiliki akses atau kemudahan untuk memperoleh informasi seluas-luasnya dari berbagai aspek pelayanan publik secara mudah, cepat dan terjangkau.

 

Untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dimaksud masih banyak permasalahan dan kendala yang harus diatasi bersama-sama oleh pihak pemberi maupun penerima layanan.

 

Citizen ’s  Charter sebagai salah satu metode untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik agar dapat berjalan secara efektif, harus disusun bersama-sama oleh pihak penyedia dan pengguna layanan, disosialisasikan kepada masyarakat dan terus di Up-date secara periodik sesuai dengan dinamika perkembangan masyarakat   

 

Selanjutnya beberapa saran yang  dapat menopang perubahan pola pikir untuk mewujudkan nilai budaya keterbukaan dalam pelayanan publik, meliputi  :

1. Harus diawali adanya komitmen dari pimpinan puncak, artinya pimpinan harus dapat menjadi panutan sekaligus motivator bagi bawahannya dan stakeholders lainnya.

2.  Harus  dibangun  sistem  dalam  Pelayanan  Publik guna mewujudkan Nilai budaya keterbukaan, antara lain dengan menerapkan konsep Citizen’s Charter dengan melibatkan partisipasi masyarakat, maka setiap unit pelayanan publik harus menyusun Standar Uperating Procedurs (SOP) dan Standar Pelayanan.Masyarakat (SPM) yang harus disusun dengan melibatkan stakeholders guna menampung aspirasi dari publik sebagai pelanggan, dan yang lebih penting lagi baik SOP maupun SPM selanjutnya harus disosialisasikan kepada masyarakat sebagai pelanggan. 

3. Kegiatan sosialisasi kepada publik sehingga masyarakat semakin paham dan sadar akan hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik, sehingga pada gilirannya akan dapat memacu tumbuhnya semangat partisipasi dalam penyelenggaraan pelayanan  publik         

4. Peningkatnya kompetensi melalui diklat , dan pada saat yang bersamaan diharapkan akan memperluas wawasan dan meningkatkan kualitas moral serta etika para aparatur negara dalam melaksanakan tugas pelayanan publik

 

 

Daftar Pustaka

 

Dwiyanto, Agus (ed) (2005)   Mewujudkan Good Governance Melalui    Pelayanan Publik, Yogyakarta: Gajah Mada Universitiy Press

 

 Nursandi Haranto, SH, M Si (2006), Modul Penerapan Budaya Kerja Aparatur   Negara, Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara RI, Jakarta

 

Kinanto, Tasdik (2011),  Tak  Dapat Ditawar PNS Harus Disiplin,  http :/menpan   go id.index.php/berita-indwx/745-tasdik-kinanto-tak-dapat-ditawar-pns      -harus disiplin

 

Pedoman     Umum      Reformasi     Birokrasi,    (2008)           Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Jakarta

 

 

 

Peraturan Perundang-Undangan

 

Undang Undang Nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik

 

Peraturan  Menteri  Pendayagunaan  Aparatur  Negara  Nomor PER/20/M.PAN/

        04/2006  Tahun 2006  tentang  Pedoman Penyusunan  Standar Pelayanan Publik

 

Peraturan  Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara  Nomor 13  Tahun  

        2009   Tentang   Pedoman    Peningkatan     Kualitas     Pelayanan   Publik

        Dengan  Partisipasi   Masyarakat,  Kementerian   Negara  Pendayagunaan

        Aparatur Negara

 

Keputusan  Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 25/KEP/M.PAN/4/

        2002 tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara


18 02 2013 12:06:1