MEMBENAHI MESIN BIROKRASI YANG “KARATAN”

Kabupaten Banyumas

Hampir sepuluh tahun setelah Indonesia memasuki era "reformasi" (pascakepemimpinan
Soeharto), negara ini tetap belum mampu meredam ambisi pribadi para pengelolanya.
Salah satu kunci penting untuk mewujudkan itu adalah melalui reformasi birokrasi yang sayangnya
tak terlalu mendapatkan perhatian pada awal era reformasi. Saat itu upaya pembenahan melulu
difokuskan pada proses demokrasi dan tidak pada bagaimana agar demokrasi itu menciptakan
suatu pelayanan yang semakin baik kepada masyarakat.
Kekuatan birokrasi Indonesia sebetulnya bisa menjadi mesin penggerak yang luar biasa apabila
mampu didayagunakan untuk memajukan kesejahteraan rakyat. Namun, yang saat ini terjadi justru
sebaliknya.
Birokrasi Indonesia - sebut saja sekitar 3,6 juta pegawai negeri di luar polisi dan militer - justru
menjadi beban negara. Sampai-sampai pemerintah sempat mengeluarkan kebijakan zero growth
untuk mengurangi kemubaziran tenaga pemerintah di instansi-instansi sipil.
Mengapa birokrasi kita tak mampu menjadi sebuah kekuatan pengubah ? Bisa jadi karena
pemerintah memang tak memiliki visi kepemimpinan maupun grand design untuk melakukan
reformasi.
Yang terjadi adalah perubahan di sana sini yang parsial, sporadis , dan tak berdampak signifikan.
Padahal, mesin negara inilah yang akan menggerakkan keputusan-keputusan politik pemerintah.
Pertanyaannya, bagaimana bisa sebuah keputusan politik dieksekusi menjadi kebijakan prorakyat
apabila mesin birokrasinya korup ?
Dalam kondisi seperti itu, seorang pemimpin yang terpilih secara demokratis dan memiliki visi
reformatif sekalipun akan kesulitan jika harus mengendalikan "warisan" mesin birokrasi yang tak
efektif dan terkooptasi nilai-nilai lama.
Belum lagi struktur kepegawaian sipil di Indonesia begitu "gemuk". terdiri dari lima eselon (tertinggi
eselon 1), empat golongan (tertinggi golongan IV), dan setiap golongan dibagi lagi jenjang
kepangkatannya dari a sampai e. Sebuah unit yang dipimpin oleh seorang eselon 1, misalnya
(untuk jabatan struktural setara direktur jendral atau sekretaris jendral), bisa memiliki anak buah
sampai ratusan orang.
Sejak sistem ini dibangun di era Orde Baru, mesin birokrasi memang dirancang untuk mendukung
kebijakan dan melanggengkan kepemimpinan Soeharto. Alhasil, tiga puluh tahun kekuasaan Orde
Baru telah membentuk "budaya kekuasaan" yang telah kokoh dan mengakar.
Karakter birokrasi bukanlah melayani, tetapi bagaimana dengan sengaja menciptakan sistem
pelayanan yang korup dan berbelit sehingga setiap proses bisa menghasilkan uang. Idiom yang
berlaku adalah, kalau memang bisa dipersulit, mengapa harus dipermudah ?
Terkooptasi parpol
Jika pada zaman orde baru mesin birokrasi nyata-nyata menjadi pendukung pemerintah dan
Golkar, pada era reformasi tradisi itu masih berlangsung dalam formula yang sedikit berbeda. Jika
seorang kader Partai A menduduki jabatan menteri, misalnya, bisa diperkirakan semua posisi
penting di departemennya akan diisi kader-kader dari parpol bersangkutan.
Dengan demikian, kita beranjak pada penyakit kronis lainnya yang mengakar di birokrasi, yaitu
kooptasi partai politik. Perkawinan antara birokrasi dan partai politik. Perkawinan antara birokrasi
dan partai politik tak pelak lagi telah melahirkan sistem yang saling melemahkan.
Di satu sisi, partai politik tidak memiliki sistem kaderisasi yang baik sehingga kandidat yang di
calonkan parpol bukanlah hasil gemblengan yang berdasarkan sistem prestasi (merit system).
Di sisi lain, pemilihan umum ataupun pemilihan kepala daerah, misalnya, sarat dengan politik
uang. Karena itu, siapapun yang terpilih kelak akan disibukkan untuk "mengembalikan bayaran"
kepada pihak-pihak yang telah membantunya ke jabatan tersebut. Dana pengembalian itu paling
mungkin diambil dari anggaran yang tersedia.Akibatnya terasa betul tensi politik meninggi dalam
setiap pilkada karena birokrasi merasa sangat terancam apabila mereka tidak taat atau tidak loyal
kepada partai politik dan kandidat terpilih. Jelaslah, reformasi bakal mustahil diwujudkan apabila
aktor berikut mesinnya terperangkap dalam sebuah lingkaran sistem yang korup.
Langkah awal untuk memulai pembenahan adalah dengan memutus kooptasi parpol atas birokrasi
dan menarik garis tegas diantara keduanya. Selama kepentingan-kepentingan institusional bisa
diintervensi oleh kepentingan partai politik, birokrasi tak akan pernah menjadi profesional.
Langkah berikutnya adalah membangun profesionalisme dan memordenisasi administrasi
pemerintahan sehingga tercipta struktur manajemen efektif. Itu berarti perlu pengkajian kembali
sistem kepegawaian yang menyeluruh, termasuk proses perekrutan. Proses perekrutan yang
berlangsung tertutup, dimana terbuka peluang "jual-beli" kursi pegawai negeri sipil, harus
dihentikan.
Bagaimanapun, pelayanan kepada publik yang buruk sangat dipengaruhi oleh rendahnya gaji,
proses perekrutan yang tak memadai, tidak adanya ukuran kinerja dan pengawasan yang rendah.
Sistem kepegawaian sipil Indonesia saat ini ditangani tiga instansi yaitu Kementrian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara, Badan Administrasi Kepegawaian Negara dan Lembaga
Admnistrasi Negara, harus dirampingkan. Penanganan oleh satu instansi saja diyakini akan lebih
efisien.
Hakikat reformasi birokrasi adalah bagaimana memudahkan semua pelayanan karena inti sebuah
keberadaan negara adalah pelayanan. Sebagai pembanding, Korea Selatan adalah salah satu
negara yang berhasil mereformasi birokrasinya sehingga bisa mewujudkan sebuah pemerinthan
yang bersih dan efisien.
Padahal, posisi awal Indonesia dan Korea Selatan tak berbeda jauh sewaktu memulai
pembangunan. Artinya, tak mustahil bagi kita untuk berubah dan maju. Yang dibutuhkan adalah
komitmen politik dari seorang pemimpin yang tegas, berani mengambil risiko dan tak sibuk
memikirkan citra pribadinya.


19 06 2012 14:56:19